Suara Lirih Warga Sukamulya
Oleh: Nurul Bahrul Ulum
PEMBEBASAN tanah
yang terjadi di Desa Sukamulya Kabupaten Majalengka untuk pembangunan Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB) menyebabkan dampak yang tidak sedikit. Dari
sisi yang paling nyata adalah banyak masyarakat sekitar kehilangan tempat
tinggal, rumah.
Rumah bukan hanya sebagai tempat beristirahat dan berlindung
dari cuaca hujan dan panas saja. Rumah lebih sebagai tempat berlangsungnya
proses sosial yang paling utama. Di dalam rumah, semua anggota keluarga
diperkenalkan pada adat istiadat dan norma yang berlaku di masyarakat. Dari
rumah, manusia belajar hidup.
Tentu saja rumah amat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan karakter seseorang. Rumah menjadi elemen terkecil dalam segala
upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia. Rumah adalah pondasi pemenuhan
hak-hak dasar untuk hidup secara baik. Oleh karenananya rumah adalah ruh dari
hidup itu sendiri.
Saat rumah dan tanah diceraikan dari manusianya, itu sama
saja seperti jasad yang kehilangan ruhnya. Manusia yang kehilangan rumah dan
tanah, ruang kehidupan, harus berjuang untuk kembali membangun kehidupannya.
Hal itu tidak mudah karena tidak ada yang bisa menjamin rumah yang baru bisa
lebih baik dari yang ditinggalkan.
Apalagi, warga Sukamulya tak pernah merasa terjamin jika
tanah dan rumahnya dibebaskan untuk bandara. Tak ada satu pun pejabat berwenang
yang menjamin kehidupan mereka kelak lebih baik setelah melepas tanahnya. Oleh
karenanya, warga Sukamulya pun menolak pembebasan lahan karena bagi mereka
melepaskan manusia dari rumah dan tanah sama saja dengan pemiskinan.
Suara Lirih
Wajah sedih tersirat dari pandangan mata Ibu Wati, salah
seorang warga Sukamulya yang baru pindah karena tanah dan rumahnya di desa
sebelumnya, Bantarjati dibeli para calo. Siang itu dia bercerita bahwa sebenarnya
dia tidak mau menjual rumah plus tanahnya seluas 12 bata itu. Sedari awal dia
bingung kalau harus menjual rumah.
Di mana dia akan membangun rumah yang baru? Apakah di rumah
barunya itu dia bisa hidup seperti dulu atau bahkan lebih baik dari dulu? Kalau
kehidupan jadi lebih buruk, kepada siapa harus meminta pertolongan? Kira-kira
itulah yang selalu dipikirkannya.
Nyatanya, Ibu Wati merasakan bahwa BIJB, yang disebut-sebut
sebagai simbol dari modernitas itu tak pernah menjamahnya, apalagi berharap
untuk menjamin masa depannya. Suara lirih rakyat kecil seperti Ibu Wati ini tak
pernah terdengar. Pemerintah yang harusnya menjadi pembela utama suara kecil mereka
pun tenggelam dalam hiruk pikuk para calo dan pemodal.
Berdasar pengakuan Ibu Wati, pihak BIJB tak pernah membeli
tanah dari warga secara langsung. Mungkin para petinggi itu tak sudi menginjak
lumpur pematang sawah dan menyalami warga yang kasar telapak tangannya. Rakyat
kecil yang hina seperti Ibu Wati hanya pantas untuk bernegosiasi dengan para
calo tanah.
Sejak pembebasan tanah untuk BIJB dilakukan, calo-calo bergentayangan,
di Sukalmulya salah satunya. Mereka datang tidak dengan senyum ramah saja tapi
juga dengan intimidasi yang beraneka rupa. Bagi mereka segala cara digunakan
agar warga bisa menjual tanahnya dengan harga murah. Tanah yang murah itu
kemudian mereka jual ke pihak BIJB dengan keuntungan berlipat-lipat. Anehnya,
BIJB mau saja membeli tanah dari mereka?
Bisa jadi, itu karena bagi BIJB yang penting adalah
tanahnya, bukan suara-suara lirih dari seorang warga negara yang sah seperti
Ibu Wati. Ah, benar kata orang tua, rakyat kecil di negara ini tak pernah punya
cukup kekuatan untuk memperjuangkan hak hidupnya.
Ibu Wati bercerita, di Desa Bantarjati juga ada salah
seorang warga yang menjadi calo tanah. Kini, sang calo itu sudah memiliki
minimarket, sawah dan mobil. Tetangganya menyebut bahwa si calo kaya mendadak
gara-gara tanah.
Cerita sukses calo membuat calo-calo bermunculan, dari dalam
dan luar daerah. Mereka bergentayangan, merajalela, kongkalikong. Sementara pemerintah
dan BIJB diam saja. Mereka pasti tahu, tidak mungkin tidak tahu, mereka
pura-pura tidak tahu. Warga dibiarkan berjuang, bernegosiasi dan merencanakan
kehidupan masa depan seorang diri. Para pemimpin rupanya telah meninggalkan
rakyatnya.
Jual Dedet
Saat tetangganya perlahan terpaksa menjual tanahnya dan
sudah pindah ke daerah lain, Ibu Wati sengaja mengulur waktu. Selain ingin
tetap mempertahankan tanahnya sendiri, dia berharap apablia tanah yang
ditempatinya saat itu dijual bisa untuk membeli tanah dan membangun rumah lagi.
Terlebih dia sudah lima tahun hidup menjanda tanpa memiliki anak dan harus
mengurus ibunya yang sudah berusia 80 tahun.
Namun semakin dia mengulur waktu, harga tanah semakin murah.
Dengan alasan lokasi tanah berada di tengah sawah. Apabila di pinggir jalan,
harga tanah Rp 700 ribu per bata. Apabila di tengah sawah seperti punya Ibu
Wati harga tanah hanya Rp 400 ribu per bata. Dari total 12 bata tanah yang
dimiliki dikalikan RP 400 ribu per bata, Ibu Wati hanya mendapatkan Rp. 4.800.000,-.
Dalam bahasa Sunda, cara transaksi seperti itu disebut jual dedet. Artinya, mau silakan, kalau
tidak maka terpaksa digusur tanpa mendapatkan apa-apa. Di luaran, proyek BIJB
sungguh luar biasa. Fasilitas yang bisa menghubungkan banyak kota di dunia.
Majalengka sebagai daerah tempat berdirinya BIJB pun bakal sejahtera. Tapi percaya
tidak yang selama ini terjadi adalah perampokan berjamaah?
Dengan uang Rp 4.800.000,- Ibu Wati membeli tanah baru
seluas 4 bata saja di Desa Sukamulya. Dia kembali mengumpulkan uang dengan
menjadi buruh tani dan mengelola tanah ibunya untuk membeli tanah dan membangun
rumah sederhana untuk tempat tinggalnya. Total, dia sudah menghabiskan sekitar Rp
60 juta.
Setelah berjuang sedemikian rupa, Ibu Wati pun kembali gusar.
Sukamulya, tempat di mana rumah barunya berdiri itu, dia dengar juga akan
segera dibebaskan untuk BIJB. Oalah, kenapa tak ada yang memberitahukan kepada
warga peta rencana pembangunan BIJB yang maha perkasa itu? Jadilah, orang-orang
kecil seperti Ibu Wati ini menderita tak ada putusnya.
Trauma
Selain hilangnya rumah dan tanah terdapat dua kelompok yang
paling rentan menjadi korban ketika pembebasan lahan secara paksa, mereka adalah
anak-anak dan perempuan. Dampak yang terjadi terhadap anak-anak adalah
ganggunan psikologis seperti trauma yang bisa membuat mereka stres dan
kehilangan keceriaan.
Sama halnya dengan anak-anak, kaum perempuan mengalami
trauma mendalam dan stress berat. Perempuan seringkali menanggung beban pikiran
yang tak ringan tentang keberlangsungan keluarganya. Perempuan pun menjadi
pihak yang paling rentan terhadap intimidasi para calo. Bahkan saat bentrok
dengan aparat, perempuan Sukamulya juga mengalami kekerasan.
Saat para petani perempuan yang sedang tandur di sawah, tiba-tiba datang ribuan polisi. Sontak hal itu membuat
kaget para petani dan bertanya-tanya, ada apa gerangan? Salah seorang petani
perempuan bernama Ibu Nung memberanikan diri menjumpai polisi untuk bertanya.
Dari situ diketahui bahwa meerka hendak mengawal pengukuran tanah milik warga
untuk pembangunan BIJB. Para petani perempuan yang saat itu sedang tandur jelas
menolak.
Petani merasa tak pernah mendapat pemberitahuan,
sosialisasi, atau bahkan musyawarah sebelum pengukuran tanah milik warga. Mereka
pun mengajak polisi untuk bermusyawarah dulu di balai desa. Namun polisi malah
berbaris untuk membuat benteng. Para petani perempuan pun yang saat itu
jumlahnya kurang lebih 500 orang membuat benteng tanpa memiliki senjata apapun.
Polisi meminta para petani perempuan untuk mundur dan tidak menghalangi mereka
melakukan pengukuran tanah. Bermaksud mengajak
bermusyawarah, para petani perempuan malah diancam akan ditembak apabila
tidak mundur.
Para petani perempuan dari ibu-ibu muda hingga nenek-nenek
dengan tangan kosong menghadapi ribuan polisi yang membawa banyak senjata.
Mereka tak gentar. Rasa takut akan nyawa melayang dikalahkan oleh semangat yang
membara untuk tetap mempertahankan ruang hidup dan sumber kehidupannya, tanah.
Mereka memperkuat barisan sembari melantunkan shalawat tanda
berharap keselamatan. Polisi pun menembakkan gas air mata ke atas langit yang
kemudian turun lagi ke tanah. Para petani perempuan yang sejak awal mengira itu
kembang api pun terkena tembakan gas air mata. Perih dan sesak yang dirasakan
tak menjadi halangan untuk terus melakukan perlawanan. Tak peduli para petani
perempuan yang sudah tua renta jatuh dan berjalan tertatih-tatih menghindari
tembakan, polisi terus menerus menembak mundur dengan gas air mata.
Bahkan ada tembakan yang diarahkan ke tubuh para petani
perempuan. Ada yang terkena punggungnya, kepalanya, dan bahkan payudaranya.
Para petani perempuan itu hanya memiliki dua senjata. Setelah shalawatan dirasa
tak mempan, tiga orang dari ratusan petani perempuan membuka bajunya hingga
telanjang bulat. Berharap polisi berhenti menembak.
Namun yang terjadi ribuan polisi makin menggila dan terus
menembak, mengejar para petani perempuan hingga ke balai desa. Jeritan kaum
perempuan dan anak-anak sambil berlarian bak kiamat di tanahnya sendiri. Yang
terpikir dalam benak mereka hanya satu, lari untuk menyelamatkan diri atau mati.
Nasib perempuan dan anak-anak dalam kasus perampasan lahan
tidak pernah dijadikan perhatian oleh negara, termasuk yang terjadi di
Sukamulya. Mereka malah menghadapi intimidasi dan ketakutan, padahal mereka
mempertahankan haknya. Para petani perempuan bahkan berani berada di garis
terdepan dalam memperjuangkan tanahnya demi kelangsungan hidup keluarga.
Tidak ada sedikit pun upaya dari negara untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak atau bahkan melakukan
pemulihan terhadap dampak yang terjadi akibat tindakan-tindakan kekerasan yang
dilakukan aparatnya.
Alih-alih perempuan dan anak-anak dilindungi, yang ada
pemerintah justru membiarkan penganiayaan, kriminalisasi, kekerasan dan
intimidasi terhadap kaum perempuan. Dampak psikis dan fisik dirasakan betul
oleh kaum perempuan di Sukamulya.
Secara fisik mereka mengalami gangguan pernapasan selama
tiga bulan akibat tembakan gas air mata, kulit terasa perih dan mata terasa
copot. Belum lagi ibu muda yang tengah hamil 8 bulan keguguran akibat lari
terbirit-birit saat dikejar polisi.
Secara psikis, trauma mendalam membuat mereka banyak terdiam
dengan penuh ketakutan. Pemerintah macam apa membuat rakyatnya terjajah di
tanah sendiri? Ketakutan di depan rumahnya sendiri? Jelas ini tidak dapat
ditolelir.
Saya berharap, meski tanpa pelantang, suara-suara lirih
warga Sukamulya ini didengar. Mereka tak butuh apa-apa, hanya butuh didengar.***
ilustrasi: nasional.kini.co.id
Suara Lirih Warga Sukamulya
Reviewed by Penghamba
on
21.12
Rating:
Kapan pemerintah turun langsung ke rumah rumah warga... ???
BalasHapus